Behavior Therapy

Label: , ,


Behaviorisme adalah suatu pandangan tingkah laku manusia, dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan menciptakan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati. Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang memiliki kecendrungan-kecendrungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor genetik, para behavioris memasukan pembuatan putusan sebagai salah satu tingkah laku. (Corey, G. 2010: 195).
Teori konseling behavioral berasal dari konsepsi yang dikembangkan oleh hasil-hasil penelitiaan psikologi eksperimental. Terutama dari Pavlov dengan classical conditioning-nya dan B.F. Skinner dengan operant conditioning-nya, yang menurutnya berguna untuk memecahkan masalah-masalah tingkah laku abnormal dari yang sederhana (hysteria, obsesional neurosis, paranoid) sampai pada yang kompleks (seperti phobia, anxiety, dan psikosa), baik untuk kasus individual maupun kelompok.
Pendekatan behavioral merupakan pendekatan terapi tingkah laku yang berkembang pesat dan sangat populer, dikarenakan memenuhi prinsip-prinsip kesederhanaan, kepraktisan, kelogisan, mudah dipahami dan diterapkan, dapat didemonstrasikan, menempatkan penghargaan khusus pada kebutuhan anak, serta adanya penekanan perhatian pada perilaku yang positif. Termasuk tokoh-tokoh dari teori konseling behavioral antara lain John D. Krumboltz, Carl E. Thoresen, Wolpe, Albert Bandura, dan Ray. E. Hosfort.


Teori behavioral lebih menekankan kepada perilaku klien di sini dan saat ini. Artinya, bahwa perilaku individu yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini. Dalam pandangannya tentang hakekat manusia, teori behavioral menganggap bahwa pada dasarnya manusia bersifat mekanistik dan hidup dalam alam yang deterministik, dengan sedikit peran aktifnya untuk memilih martabatnya. Perilaku manusia adalah hasil respon terhadap lingkungan dengan kontrol yang terbatas dan melalui interaksi kemudian berkembang pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil dari proses belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi kondisi-kondisi belajar. Dengan demikian, teori konseling behavioral hakekatnya merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan teknik belajar secara sistematis dalam usaha menyembuhkan gangguan tingkah laku. Asumsinya bahwa gangguan tingkah laku itu diperoleh melalui hasil belajar yang keliru, dan karenanya harus diubah melalui proses belajar, sehingga dapat lebih sesuai. Tujuan utamanya menghilangkan tingkah laku yang salah dan menggantikannya dengan tingkah laku baru yang lebih sesuai.
Menurut Apter (1982) asumsi dasar dari model behavioral adalah bahwa :
1.             seluruh perilaku manusia dipelajari dan dapat tidak dipelajari melalui aplikasi prinsip-prinsip belajar,
2.             perilaku yang tidak tepat dapat diubah (dihapus dan atau diganti dengan perilaku yang lebih dapat diterima) melalui penggunaan prosedur penguatan, dan
3.             sangat mungkin untuk memprediksikan dan mengontrol tingkah laku apabila seluruh karakateristik lingkungan yang bersangkutan diketahui.
Sedangkan menurut Bootzin (Nafsiah, 1996) asumsi tersebut meliputi :
1.             bahwa tingkah laku yang ditunjukkan dapat diobservasi,
2.             bahwa tingkah laku manusia baik karena pengaruh lingkungan ataupun karena pengalaman dapat diamati dan diukur intensitasnya,
3.             bahwa tingkah laku manusia seperti halnya gejala alam lainnya, dapat diramalkan dan dikontrol, dan
4.             bahwa belajar merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkah laku, baik tingkah laku yang normal maupun yang menyimpang.
Tujuan terapi tingkah laku adalah untuk menghilangkan tingkah laku yang salah dan membentuk tingkah laku baru yang lebih sesuai. Menurut Eysenck (Dahlan, 1985) karakteristik terapi tingkah laku adalah :
1.             Didasarkan teori yang dirumuskan secara tepat dan konsisten mengarah pada kesimpulan yang dapat diuji.
2.             Didasarkan telaah eksperimental yang khusus menguji teori-teori dan kesimpulan.
3.             Memandang simptom sebagai respon bersyarat yang tidak sesuai (maldaptive conditional responses)
4.             Memandang simptom sebagai bukti adanya kekeliruan tingkah laku, ditentukan atas perbedaan individual yang dibentuk atas proses conditioning dan autonom sesuai lingkungannya masing-masing.
5.             Menganggap peyembuhan gangguan neurotik sebagai pembentukan kebiasaan (habit) yang baru.
6.             Penyembuhan secara langsung membasmi respon bersyarat yang keliru dan membentuk respon bersyarat yang baru.
7.             Pertalian pribadi tidaklah esensial, sekalipun kadang diperlukan.
Tujuan utama konseling behavioral adalah menghilangkan tingkah laku yang salah (maladaptive) dan menggantikannya dengan tingkah laku baru yang lebih sesuai. Secara rinci tujuan tersebut adalah untuk
a.              menghapus pola-pola perilaku maladaptive dan membantu anak mempelajari pola-pola tingkah laku yang lebih konstruktif,
b.             mengubah tingkah laku maladaptif anak,
c.              menciptakan kondisi-kondisi yang baru yang memungkinkan terjadinya proses belajar ulang.
Konseling behavioral pada dasarnya merupakan proses penghapusan hasil belajar yang salah dengan memberikan pengalaman-pengalaman belajar baru yang didalamnya mengandung respon-respon yang layak yang belum dipelajari. Menurut Corey (1986) terdapat tiga fungsi tujuan dari konseling behavioral, yaitu sebagai : (1) refleksi masalah klien sekaligus arah konseling, (2) dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling, dan (3) landasan untuk menilai hasil konseling.
Krumboltz (Surya, 2003) mengemukakan bahwa terdapat empat metode dalam konseling behavioral, yaitu :
1.             Operant learning
Penguatan dapat menghasilkan perilaku yang diharapkan, serta pemanfaatan situasi diluar klien dapat memperkuat perilaku klien yang dikehendaki. Penguatan hendaknya sesuai kebutuhan anak dan diberikan sistematis dan untuk itu konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana penguatan itu diberikan dan merancang perilaku yang memerlukan penguatan.
2.             Unitative learning atau social modelling
Konselor merancang perilaku adaptif yang dapat dijadikan model bagi klien, baik dalam bentuk rekaman, pengajaran berprogram, video, film, biografi atau orang. Model yang dipilih hendaknya subjek yang berprestise, kompeten, aktraktif (menarik), dan berpengaruh.
3.             Cognitive learning
Menekankan pentingnya aspek perubahan kognitif klien. Dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien, dan bermain peran.
4.             Emotional learning
Metode ini diterapkan untuk individu yang mengalami kecemasan, melalui penciptaan situasi rileks dengan menghadirkan rangsang yang menimbulkan kecemasan bersama dengan suatu rangsang yang menimbulkan kesenangan, sehingga secara berangsur kecemasan berkurang dan akhirnya dapat dihilangkan.
Sedangkan teknik yang biasa digunakan dalam keempat pendekatan atau metode di atas antara lain :
1.             Desentisisasi sistematis, yaitu suatu cara yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperbuat secara negatif dengan menyertakan pemunculan tingkah laku yang berlawanan dengan tingkah laku yang hendak dihapuskan. Salah satu caranya adalah dengan melatih anak untuk santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit kecemasan.
2.             Latihan asertif, yaitu latihan mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan, dengan cara mempertahankan hak dan harga dirinya. Latihan ini tepat untuk anak-anak yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Misalnya, bagi mereka yang sulit untuk berkata ”tidak”, tidak dapat menyatakan kemarahannya, atau merasa tidak punya hak untuk menyatakan pikiran dan perasaannya. Dalam pelaksanaan teknik ini, penting bagi konselor untuk melatih keberanian anak untuk berkata atau menyatakan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya secara tegas. Caranya dapat melalui bermain peran. Misal, anak diminta untuk berperan sebagai orang tua yang galak dan konselor sebagai anak yang pendiam. Kemudian peran tersebut dipertukarkan.
3.             Terapi aversi, digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk atau menghukum perilaku yang negatif dan memperkuat perilaku positif, dengan meningkatkan kepekaan klien agar mengganti respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut, dibarengi dengan stimulus yang merugikan dirinya. Misalnya, anak yang suka mabuk, maka minumannya dicampur dengan obat tertentu yang dapat menjadikan pusing atau muntah.
4.             Penghentian pikiran. Teknik ini efektif digunakan untuk klien yang sangat cemas. Caranya, misal klien ditutup matanya sambil membayangkan dan mengatakan sesuatu yang mengganggu dirinya, misal berkata “saya jahat” – pada saat itu klien memberi tanda, kemudian terapi berteriak atau berkata keras dan nyaring berkata “berhenti”. Jadi pikiran yang tadi digantikan dengan teriakan terapi, berulang-ulang sampai dirinya sendiri yang bisa menghentikan.
5.             Kontrol diri, dilakukan untuk meningkatkan perhatian pada anak tugas-tugas tertentu, melalui prosedur self assessment, mencatat diri sendiri, menentukan tindakan diri sendiri, dan menyusun dorongan diri sendiri.
6.             Pekerjaan rumah. Yaitu dengan memberikan tugas atau pekerjaan rumah kepada klien yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan situasi tertentu. Misal, kepada klien yang suka melawan ketika dimarahi orang tua, maka diberi tugas selama satu minggu untuk tidak menjawab ketika sedang dimarahi, kemudian hasilnya dievaluasi dan secara berangsur ditingkatkan.

Kelebihan :
§  Memiliki dasar teori yang cukup kuat
§  Mampu membuat klien lebih mengerti perilaku yang sesuai dengan harapannya
Kekurangan :
§  Administrasi cukup panjang
§  Menggunakan waktu yang cukup lama dalam proses terapi
§  Menghabiskan biaya klien yang cukup banyak guna menuntaskan terapi


Sumber:        
Kuntjojo, Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling
Permanarian,S., dan Assjari, M. (2008). Teori Konseling. Bandung: PLB FIP UPI.
http://www.scribd.com/doc/117548663/12/Tujuan-behavior-therapy

Rational Emotive Therapy

Label: , ,


Tokoh utama Rational Emotive Therapy (RET) adalah Albert Ellis. Albert Ellis merupakan turunan dari orang tua Yahudi, dilahirkan pada 17 September 1913, di Pittsburgh dan besar di kota New York. Albert Ellis meninggal pada umur 93 tahun pada 24 Juli 2007. Ellis mendapatkan ijazah bisnis pertama dari City University di New York. Kemudian Ellis memulai suatu karier dalam bidang bisnis, yang diikuti bakatnya untuk menjadi penulis. Bakat Ellis sebagai penulis menuntun dirinya untuk menulis tentang bidang kebirahian manusia, suatu bidang yang mengembangkan suatu keahlian. Kelangkaan ahli dalam area ini mendorong dirinya sebagai orang yang dicari-cari untuk dimintai nasihat atas pokok materinya. Ellis begitu yakin bahwa ini menjadi panggilan untuk dirinya mencari suatu karir baru di dalam psikologi klinis.


Pada tahun 1942, Ellis memulai studinya untuk mendapatkan gelar Ph.D. dalam psikologi klinis di Columbia University, cabang keilmuan psychoanalytic (psikoanalisis). Pada tahun 1955 Ellis, mengenalkan pendekatan barunya yaitu Rational-Emotive Therapy dan memerlukan therapist untuk membantu client memahami dan mematuhi pemahaman yang filosofi. Pendekatan yang baru ini ditekankan dengan aktip-aktip untuk mengubah kepercayaan dan perilaku dengan memperjelas dan mempertunjukkan kekakuan atau ketidakrasionalan klien. Terapi ini hakekatnya dibangun berdasar atas ketidakpuaan Albert Ellis terhadap teori psikoanalisa serta berdasar atas pemahamannya tentang teori behavioral.

Konsep utama
RET dibangun berdasarkan filosofi bahwa ”apa yang menganggu jiwa manusia bukanlah peristiwa-peristiwa, tetapi bagaimana manusia itu mereaksi atau berprasangka terhadap persitiwa-peristiwa tersebut”.
Secara umum dikatakan bahwa anak-anak dan juga binatang memiliki sejumlah keterbatasan emosi dan cenderung untuk cepat emosi. Seiring dengan pertambahan usia, maka ketika anak-anak cukup mampu menguasai bahasa secara efektif, mereka memperoleh kemampuan untuk mempertahankan emosinya dan sedapat mungkin menjaga emosi-emosinya yang terganggu. RET tidak memusatkan perhatian kepada peristiwa-peristiwa masa lalu, tetapi lebih kepada peristiwa yang terjadi saat ini dan bagaimana reaksi terhadap peristiwa tersebut. RET juga percaya bahwa setiap manusia mempunyai pilihan, mampu mengontrol ide-idenya, sikap, perasaan, dan tindakan-tindakannya serta mampu menyusun kehidupannya menurut kehendak atau pilihannya sendiri.
RET didasari asumsi bahwa manusia itu dilahirkan dengan potensi rasional dan juga irrasional. Seseorang berperilaku tertentu karena ia percaya harus bertindak dalam cara itu. Sedangkan gangguan emosional terletak pada keyakinan irrasional. Dengan kata lain keyakinan irrasional yang menyebabkan ganguan emosional. Bila seseorang mereaksi sesuatu dengan keyakinan irrasional, maka ia akan memandang diri sendiri dan orang lain sebagai jahat, kejam, atau mengerikan. Asumsi lainnya, bahwa berpikir dan emosi bukan dua proses yang terpisah, tetapi dua hal yang saling tumpang tindih, dan dalam prakteknya saling terkait.
Dalam teorinya, Albert Ellis (Thomson dan Rudolf, 1983) juga menyatakan bahwa secara alamiah setiap manusia adalah irasional, mengalahkan dirinya sendiri, sehingga perlu pemikiran dengan cara-cara lain. Ia juga menyatakan bahwa secara alamiah manusia dapat menjadi ”helpful” dan ”loving” sepanjang mereka tidak dapat berpikir rasional. Dijelaskan pula tentang adanya siklus tertentu dalam berpikir irasional, dimana ketika seseorang dikuasai
pemikiran irasional, maka pemikiran tersebut akan mengarahkan kepada kebencian diri. Kebencian diri selanjutnya akan mengarahkan kepada perilaku merusak diri (self destructive), dan kemudian secepatnya menumbuhkan kebencian kepada orang lain. Kebencian terhadap orang lain, pada akhirnya menyebabkan orang lain mereaksi secara irasional. Sedangkan adanya reaksi irasional orang lain, menjadikan pemikiran rasionalnya semakin terpelihara.
Dalam pandangan RET, kecemaan bukanlah irasional, tetapi sebagai ketidaktepatan perasaan (inaproproate feeling) yang terbangun secara luas dari ide-ide rasional. Dijelaskan oleh Burk dan Stefflre (1983) bahwa ketepatan perasaan umumnya berisi berbagai jenis perasaan yang muncul ketika terjadi halangan terhadap kebutuhan, keinginan, atau harapan-harapannya. Ketepatan emosi positif termasuk cinta, kebahagiaan, kesenangan, dan rasa ingin tahu. Ketepatan emosi negatif dapat berupa duka cita, penyesalan, frustrasi, gangguan, kejengkelan, tidak puas, dan sifat lekas marah. Emosi negatif disebut ”sesuai” atau ”tepat” karena selalu membantu orang untuk merubah kondisi-kondisi yang dialami ke arah yang lebih baik atau lebih obyektif. Sedangkan ketidaktepatan emosi selau berisi perasaan-perasaan seperti tertekan, permusuhan, putus asa, kecemasan, dan perasaan-perasaan tidak berharga. Disebut tidak tepat, karena secara normal tidak membantu manusia untuk merubah kondisi-kondisi tersebut, tetapi sering kali membantu mereka pada kondisi yang lebih buruk.
RET juga sering disebut sebagai pendekatan konseling A-B-C-D-E. Hal ini dikarenakan praktek konseling dalam RET hakekatnya mendasarkan pada teori kepribadian A-B-C-D-E dari Albert Ellis. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa manusia membentuk emosi dan perilakunya berdasar atas pikiran dan filsafat yang ditemukannya sendiri, yang dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Namun demikian, yang membentuk kepribadian manusia bukan kondisi-kondisi sosial tersebut, melainkan reaksinya terhadap kondisi-kondisi sosial tersebut. Secara umum, teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
A   : peristiwa yang menggerakkan, misal : “Saya gagal dalam tes matematika”
B   : Hasil evaluasi terhadap peristiwa yang dialami (A).
B1 : pesan irasional : “Saya gagal tes, berarti saya sebagai orang yang mengalami kegagalan total”
B2 : pesan rasional : ”Saya gagal tes. Ini tidak memuaskan dan payah, tetapi ini semua harus dihadapi dan saya akan menyiapkan diri lebih baik untuk ujian mendatang”.
C   : Representasi dari konsekuensi perasaan yang dihasilkan
B1 : merasa tertekan.
B2 : berbesar hati dan tidak akan menghalangi dalam ujian berikutnya.
D : Hadirnya perdebatan argumen untuk melawan pesan diri yang tidak rasional yang dinyatakan dalam B1. Fungsi konselor adalah membantu untuk mempertanyakan pesan-pesan irasional yang teridentifikasi.
E : Merupakan jawaban-jawaban yang telah dikembangkan berdasar atas pertanyaan-pertanyaan irasional.
Berdasar hal di atas, B hakekatnya adalah sistem keyakinan (belief system) yang tumbuh pada diri seseorang sebagai reaksi terhadap peristiwa yang dialaminya. Sedangkan C adalah keadaan emosi yang dialaminya, sebagai konsekuensi dari system keyakinannya. Dengan demikian yang menyebabkan seseorang menjadi terganggu emosinya hakekatya bukan A, tetapi adalah B1 (dipertahankannya sistem keyakinan diri yang tidak rasional).
Dalam pandangan RET setiap manusia memiliki kapasitas untuk mengubah pikiran, perilaku, dan perasaan-perasaannya, selama ia mampu memasaksakan diri untuk berpikir dan bertindak lain melalui cara-cara yang lebih baik, rasional, dan konstruktif. Misalnya melalui latihan disiplin diri, belajar secara mandiri, atau dengan meminta bantuan pada orang lain yang mampu berpikir rasional dan obyektif.

Tujuan konseling
Menurut Thomson dan Rudolf (1983) tujuan RET adalah mengajarkan klien untuk berpikir dan secara personal lebih puas dalam cara-cara merealisasikan pilihan-pilihan antara kebencian diri dan perilaku negatif, meningkat kepada perilaku yang positif dan efisien. Dalam istilah lain, tujuan utama konseling adalah membantu klien memahami kepercayaan irasionalnya, dengan mendebat, melepaskan atau mengusirnya, dan selanjutnya merubahnya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional. Membantu anak menjadi evaluator atas dirinya sendiri, sehingga dapat belajar untuk hidup sehat, mengontrol diri, dan bertanggung jawab atas kehidupannya.
Sedangkan menurut Burks dan Strefflre (1983) tujuan utama konseling adalah membantu klien agar memiliki kepetapatan emosi, mampu mengembangkan self interest, self direction, sikap toleransi, menerima fakta dengan ketidaktentuan, mampu berpikir fleksibel dan ilmiah, mampu mengambil resiko dan menerima diri sendiri, serta mampu meminmalisir frekuensi, intensitas, dan durasi munculnya emosi negatif.

Fungsi konselor
Karakteristik utama pendekatan RET adalah aktif-direktif. Fungsi utama konselor dalam RET adalah menyerang, membantah, mengkonfrontasikan, atau membongkar keyakinan irrasional klien dalam rangka menunjukkan betapa tidak rasionalnya cara berpikir klien. Untuk itu, konselor harus mampu mengenal secara pasti kecenderungan dan cara berfikir anak, meyakinkan tentang adanya kesalahan dalam cara berpikir, menghentikan pikiran-pikiran negatifnya, membantu menggantinya dengan cara berpikir dalam perspektif baru yang lebih baik, positif, dan rasional, selanjutnya menguatkan dan meyakinkan akan keberhasilannya serta menodorng untuk mengimplementasikan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata.

Proses dan teknik konseling
Dalam proses konseling, klien diharapkan sepenuhnya dapat mencapai tiga pemahaman :
§    peristiwa-peristiwa sebelumnya yang menyebabkan perilakunya neurotik,
§    alasan-alasan yang menjadikannya ia mempertahankan ketidakbahagiannya dan mengulanginya,
§    klien dapat mengalahkan gangguan emosinya dengan secara konsisten mengobservasi, menanyakan, dan menemukan system keyakinan dirinya.
Sekalipun dalam RET menitikberatkan pada aspek kognitif, namun dipercayai bahwa antara pikiran (kognitif), perasaan, dan perilaku merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, karena itu dalam konseling ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian. Sehubungan dengan itu dalam RET dikenal adanya tiga kelompok besar teknik konseling, meliputi :
o      Teknik-teknik kognitif
Teknik-teknik kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berpikir klien. Teknik-teknik ini meliputi :
·                Pengajaran :
Menunjukkan tidak logisnya cara berpikir klien hingga menimbulkan gangguan emosi dan mengajarkan cara-cara berpikir positif dan rasional.
·                Persuasif :
Melalui berbagai argumentasi, konselor meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya yang keliru
·                Konfrontasi :
Menyerang ketidakrasionalan berpikir klien dan membawanya ke arah berfikir yang lebih rasional.
·                Pemberian Tugas :
Memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata.
o      Teknik-teknik emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Dalam teknik ini, konselor harus mampu menerima klien tanpa sayarat. Termasuk teknik ini diantaranya adalah sosiodrama, role playing, modeling ataupun self modeling, latihan asertif (mendorong keberanian dan kebiasaan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya), humor, serta latihan melawan rasa malu.
o      Teknik-teknik perilaku
Teknik ini digunakan untuk mengubah tingkah laku klien yang tidak diinginkan. Termasuik teknik ini adalah melalui penerapan prinsip penguatan (reinforcement), teknik permodelan sosial (social modelling), serta relaksasi.

Kelebihan:
Pendekatan ini menekankan pada peranan berbagai tanggapan kognitif terhadap timbulnya suatu reaksi dalam bentuk perasaan.
Kelemahan:
Corak konseling ini sangat bermanfaat untuk diterapkan oleh konselor sekolah terhadap siswa remaja dan mahasiswa, yang mengalami reaksi perasaan negatif, menganggu suasana hati, seperti rasa cemas, gelisah, putus asa, tidak bergairah, dan tidak bersemangat.


Referensi :
Corey G. (2007). Teori dan Paktek Konseling & Psikoterapi. PT Refika Aditama : Bandung.
Singgah D., G. (2000). Konseling dan psikoterapi. Jakarta : Gunung Mulia.

Terapi Analisis Transaksional

Label: , ,


Eric Berne (1910-1970) seorang psikiatris dan psikoanalisis. Eric Berne dilahirkan pada tahun 1910 di Montreal, Kanada. Eric Berne mendapatkan gelar M.D., C.M dari MCGill University di Montreal pada tahun 1935, dan menyelesaikan pendidikan spesialis psikiater di Yale University. Pada tahun 1964, Eric Berne menerbitkan buku pertamanya berjudul Games People Play, buku ini menjadi buku terlaris di seluruh dunia. Menurut Corey  (1995), pada tahun 1960an pendekatan terapeutiknya yang baru menjadi populer, yang mencerminkan ditinggalkannya psikoanalisis secara radikal. Berne mengembangkan dasar teori analisis transaksional pada tahun 1950an. Penemuannya tentang status ego disadari sebagai fase pertama dari sejarah perkembangan analisis transaksional. Penemuan teori tersebut berdasarkan eksperimen-eksperimen neurologi yang menyatakan bahwa status ego yang dialami setiap individu berbeda lewat stimulus.


Berne merumuskan bahwa kepribadian manusia disusun dari “keadaan ego”, yang merupakan susunan intelek dan emosi saling berkaitan. Keadaan ego “Orang Tua” terdiri dari nilai dan nasehat orang tua. Keadaan ego “Orang Dewasa” dibentuk oleh kontak obyektif dengan lingkungan. Dan keadaan ego “Anak” berisi aspek kepribadian spontan yang kekanak- kanakan. Kritik dan kekolotan berkaitan dengan orang tua. Eric Berne menentang terhadap apa yang dilihat yaitu kekomplekan psikoanalisa. Berne mengerjakan terapi yang gampang untuk dipahami dan dimengerti oleh orang awam. Hasilnya ialah “transactional analysis” atau TA (analisis transaksional).
Analisis Transaksional berakar dalam suatu filsafat anti deterministic yang memandang bahwa kehidupan manusia bukanlah suatu yang sudah ditentukan. Analisis Transaksional didasarkan pada asumsi atau anggapan bahwa orang mampu memahami keputusan-keputusan pada masa lalu dan kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang telah pernah diambil. Berne meyakini bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk memilih dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya.

Tujuan dalam Pendekatan Analisis Transaksional
Menurut Corey, melihat tujuan dasar dari analisis transaksional adalah membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hidupnya. Sasarannya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh putusan dini mengenai posisi hidupnya. Menurut Lutfi Fauzan, tujuan konseling AT dapat dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
1.             Tujuan Umum Konseling Analisis Transaksional, yaitu membantu seseorang mencapai otonomi. Orang tersebut dikatakan mencapai otonomi bilamana  dirinya memiliki kesadaran, spontanitas, keakraban.
2.             4 Tujuan Khusus Konseling Analisis Transaksional
§  Konselor membantu klien membebankan Status Ego Dewasanya dari kontaminasi dan pengaruh negatif Status Ego Anak dan Status Ego Orang tua.
§  Konselor membantu klien menetapkan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan terlepas dari perintah-perintah orang tua.
§  Konselor membantu klien menggunakan semua status egonya secara tepat.
§  Konselor membantu klien  untuk mengubah keputusan-keputusan yang mengarah pada posisi kehidupan “orang kalah”.

Proses terapi dalam pendekatan analisis transaksioanal terdiri dari beberapa metode yaitu :
·      Analisis struktural
Merupakan perangkat yang bisa menjadikan manusia sadar akan isi dan berfungsinya orang tua, orang dewasa dan anak-anak yang ada pada diri meraka.Klien dapat belajar mengidentifikasi status ego mereka.
·      Analisis Transaksioanal
Suatu deskripsi tentang apa yang dikerjakan dan dikatakan orang tentang dirinya sendiri & orang lain. Yang terjadi antar manusia melibatkan transaksi status ego, jika pesan disampaikan diharapkan ada respon
·      Jenis transaksi; komplementer, lintas, & tersembunyi
Transaksi komplementer terjadi jika antara stimulus dan respon cocok, tepat dan memang diharapkan sehingga transaksi dapat berjalan lancar. Misalnya pembicaraan antara dua individu yang sama-sama menggunakan status ego orang tua, dewasa atau anak-anak.
Transaksi silang terjadi jika antara stimulus dan respon tidak cocok atau tidak sebagaimana yang diharapkan dan biasanya komunikasi ini akan terganggu.
Transaksi terselubung terjadi jika antara dua status ego beroperasi bersama-sama. Biasanya dapat dirasakan meliputi dewasa diarahkan ke dewasa, akan tetapi menyembunyikan suatu pesan yang sebenarnya. Misalnya dewasa ke anak, atau orang tua ke anak.
·      Pemodelan keluarga
Untuk menangani orang tua, orang dewasa dan anak-anak. Klien diminta membayangkan suatu skenario yang mencakup sebanyak mungkin orang yang signifikan pada masa lalu, termasuk dirinya.Klien sebagai sutradara, produser, dan aktor
·      Analisis ritual & waktu senggang
Untuk menangani orangtua, orang dewasa dan anak-anak. Klien diminta membayangkan suatu skenario yang mencakup sebanyak mungkin orang yang signifikan pada masa lalu, termasuk dirinya. Klien sebagai sutradara, produser, dan aktor
·      Analisis permainan & Racket
Melukiskan sebuah permainan sebagai “urut-urutan transaksi tersembunyi yang komplementer yang terus menerus berjalan maju ke arah terciptanya hasil hasil yang tertata baik & bisa diramalkan”
·      Analisis suratan
Bagian dari proses terapi yang akan bisa mengidentifikasi pola hidup yang diikuti klien. Klien memungkinkan memilih alternatif baru pada saat menjalani kehidupan.

Kelemahan dari terapi Analisis Transaksional
o      Konseli bisa mengenali semua benda tetapi mungkin tidak merasakan dan menghayati aspek diri mereka sendiri.
o      Penekanan Analisis Transaksional pada struktur merupakan aspek yang meresahkan.
o      Banyak term atau istilah yang sulit dimengerti dalam analisis transaksional.


Referensi :
Corey. Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Rafika Aditama
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/10/jtptiain-gdl-s1-2005-mahfudzfau-484-BAB2_410-1.pdf