Peradaban manusia senantiasa berkembang
dengan cepat dan dinamis. Semakin berkembangnya peradaban manusia maka semakin
berkembang pula tingkat kebutuhan hidup manusia. Persaingan hidup
semakin keras, semakin jauh dari norma kemanusiaan. Cukup membuat dahi berkerut
dan hati terasa terenyuh ketika peradaban manusia berkembang begitu cepat,
namun perkembangannnya tidak berujung baik bagi beberapa kalangan menengah
kebawah. Sedangkan tuntutan untuk hidup tidak pernah lepas menggandrungi pikiran
setiap orang yang hidup di muka bumi.
Berbagai permasalahan hidup
perlahan mulai muncul setiap harinya, seakan menjadi masalah yang begitu sulit
terpecahkan. Putus asa adalah hal yang kemungkinan besar akan dialami oleh
setiap orang yang terhimpit kondisi kurang baik bagi dirinya. Menggantungkan hidup
pada orang lain menjadi pilihan yang mau tidak mau harus dijalaninya. Disisi lain,
bukan tak ada seseorang yang menjalani hidupnya untuk mencari nafkah demi
menyambung hidupnya dengan menggunakan cara yang merugikan orang lain, seperti
menipu, mencuri, menodong, merampok bahkan tidak segan-segan penindak kejahatan
juga melakukan tindakan anarkis kepada korban kejahatannya. Tindakan anarkis
mungkin saja dilakukan siapapun, semisal masyarakat umum yang geram pada suatu
kondisi yang dinilai kurang menguntungkan bagi individu maupun kelompok masyarakat.
Beragam tindakan
anarkis, bisa saja anarkisme
berupa perusakan, pengeroyokan, pembakaran tersangka, penjarahan dan lain-lain
pada dasarnya adalah hasil dari suatu perilaku kolektif (collective behavior). Bila dinamakan perilaku kolektif, bukanlah
semata-mata itu merupakan perilaku kelompok melainkan perilaku khas yang
dilakukan sekelompok orang yang
anggotanya pada umumnya tidak saling kenal, bersifat spontan dan mudah cair
(dalam arti menghentikan perilakunya). Kelompok
yang lalu disebut entah itu crowd, craze dan mob, pada dasarnya sama pula
secara kondisional yakni telah mengalami
deindividuasi. Deindividuasi tersebut memungkinkan seseorang atau sekelompok
orang melakukan tindakan-tindakan destruktif dan sadis di luar rasionalitas
individual dari para pelakunya (dipengaruhi pikiran-pikiran Smelser, 1970).
Salah satu kontributor dari munculnya tindakan anarkis adalah adanya
keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective
belief). Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang
cenderung dipersepsi sebagai maling (dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk
digebuki) ; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu
diyakini pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah,
melawan).
M. Jahoda, seorang pelopor gerakan kesehatan mental, memberi definisi
kesehatan mental yang rinci. Dalam definisinya, “kesehatan mental adalah
kondisi seseorang yang berkaitan dengan penyesuaian diri yang aktif dalam
menghadapi dan mengatasi masalah dengan mempertahankan stabilitas diri, juga
ketika berhadapan dengan kondisi baru, serta memiliki penilaian nyata baik
tentang kehidupan maupun keadaan diri sendiri”. Definisi dari Jahoda mengandung
istilah-istilah yang pengertiannya perlu dipahami secara jelas yaitu
penyesuaian diri yang aktif, stabilitas diri, penilaian nyata tentang kehidupan
dan keadaan diri sendiri.
Jika teori M. Jahoda dikaitkan
dengan kondisi saat ini, bisa diindikasikan seseorang lebih mudah tersulut
problematika hidup berkelompok dan masih belum cukup baik mengelola stabilitas
diri. Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian khusus bagi setiap individu agar
bisa menghindari tindakan-tindakan yang tidak diketahui betul kondisinya dengan
tujuan mengurangi tindakan beresiko seperti tindakan anarkis. Tindakan anarkis
betul-betul merugikan pribadi, orang lain bahkan nama baik negara apabila
masalahnya sampai mendunia tentu penilaian negatif sampai kucilan maupun
hujatan dari dunia internasional bisa menerpa.
DAFTAR PUSTAKA :
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Anarkisme
diakses 14/03/12 06.05
·
Smelser,
Neil J., The Theory of Collective
Behavior, LondonRoutledge & Keegan Paul Publishing,1970
·
ttp://www.google.co.id
diakses 14/03/12 06.05