Behaviorisme
adalah suatu pandangan tingkah laku manusia, dalil dasarnya adalah bahwa
tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat
akan menciptakan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Behaviorisme ditandai oleh sikap
membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data yang dapat diamati. Pendekatan
behavioristik tidak menguraikan
asumsi-asumsi filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang
dipandang memiliki kecendrungan-kecendrungan positif dan negatif yang sama. Manusia
pada dasarnya dibentuk oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap tingkah laku manusia
itu dipelajari. Meskipun berkeyakinan bahwa segenap tingkah laku pada dasarnya
merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan lingkungan dan faktor-faktor genetik,
para behavioris memasukan pembuatan putusan sebagai salah satu tingkah laku.
(Corey, G. 2010: 195).
Teori konseling behavioral berasal dari konsepsi yang dikembangkan
oleh hasil-hasil penelitiaan psikologi eksperimental. Terutama dari Pavlov
dengan classical conditioning-nya dan
B.F. Skinner dengan operant conditioning-nya,
yang menurutnya berguna untuk memecahkan masalah-masalah tingkah laku abnormal
dari yang sederhana (hysteria, obsesional neurosis, paranoid) sampai pada yang kompleks
(seperti phobia, anxiety, dan psikosa), baik untuk kasus individual maupun kelompok.
Pendekatan behavioral merupakan pendekatan terapi tingkah
laku yang berkembang pesat dan sangat populer, dikarenakan memenuhi
prinsip-prinsip kesederhanaan, kepraktisan, kelogisan, mudah dipahami dan
diterapkan, dapat didemonstrasikan, menempatkan penghargaan khusus pada kebutuhan
anak, serta adanya penekanan perhatian pada perilaku yang positif. Termasuk tokoh-tokoh
dari teori konseling behavioral antara
lain John D. Krumboltz, Carl E. Thoresen, Wolpe, Albert Bandura, dan Ray. E.
Hosfort.
Teori behavioral lebih menekankan kepada
perilaku klien di sini dan saat ini. Artinya, bahwa perilaku individu yang terjadi
saat ini dipengaruhi oleh suasana lingkungan pada saat ini. Dalam pandangannya
tentang hakekat manusia, teori behavioral
menganggap bahwa pada dasarnya manusia bersifat mekanistik dan hidup dalam alam
yang deterministik, dengan sedikit peran aktifnya untuk memilih martabatnya.
Perilaku manusia adalah hasil respon terhadap lingkungan dengan kontrol yang
terbatas dan melalui interaksi kemudian berkembang pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian.
Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan
hasil dari proses belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi kondisi-kondisi
belajar. Dengan demikian, teori konseling behavioral
hakekatnya merupakan aplikasi prinsip-prinsip dan teknik belajar secara
sistematis dalam usaha menyembuhkan gangguan tingkah laku. Asumsinya bahwa
gangguan tingkah laku itu diperoleh melalui hasil belajar yang keliru, dan
karenanya harus diubah melalui proses belajar, sehingga dapat lebih sesuai.
Tujuan utamanya menghilangkan tingkah laku yang salah dan menggantikannya
dengan tingkah laku baru yang lebih sesuai.
Menurut Apter (1982)
asumsi dasar dari model behavioral
adalah bahwa :
1.
seluruh perilaku manusia dipelajari dan
dapat tidak dipelajari melalui aplikasi prinsip-prinsip belajar,
2.
perilaku yang tidak tepat dapat diubah
(dihapus dan atau diganti dengan perilaku yang lebih dapat diterima) melalui penggunaan
prosedur penguatan, dan
3.
sangat mungkin untuk memprediksikan dan
mengontrol tingkah laku apabila seluruh karakateristik lingkungan yang bersangkutan
diketahui.
Sedangkan menurut
Bootzin (Nafsiah, 1996) asumsi tersebut meliputi :
1.
bahwa tingkah laku yang ditunjukkan
dapat diobservasi,
2.
bahwa tingkah laku manusia baik karena
pengaruh lingkungan ataupun karena pengalaman dapat diamati dan diukur
intensitasnya,
3.
bahwa tingkah laku manusia seperti
halnya gejala alam lainnya, dapat diramalkan dan dikontrol, dan
4.
bahwa belajar merupakan faktor utama
yang mempengaruhi tingkah laku, baik tingkah laku yang normal maupun yang menyimpang.
Tujuan terapi tingkah
laku adalah untuk menghilangkan tingkah laku yang salah dan membentuk tingkah
laku baru yang lebih sesuai. Menurut Eysenck (Dahlan, 1985) karakteristik
terapi tingkah laku adalah :
1.
Didasarkan teori yang dirumuskan secara
tepat dan konsisten mengarah pada kesimpulan yang dapat diuji.
2.
Didasarkan telaah eksperimental yang
khusus menguji teori-teori dan kesimpulan.
3.
Memandang simptom sebagai respon
bersyarat yang tidak sesuai (maldaptive
conditional responses)
4.
Memandang simptom sebagai bukti adanya
kekeliruan tingkah laku, ditentukan atas perbedaan individual yang dibentuk
atas proses conditioning dan autonom sesuai lingkungannya
masing-masing.
5.
Menganggap peyembuhan gangguan neurotik
sebagai pembentukan kebiasaan (habit)
yang baru.
6.
Penyembuhan secara langsung membasmi respon
bersyarat yang keliru dan membentuk respon bersyarat yang baru.
7.
Pertalian pribadi tidaklah esensial,
sekalipun kadang diperlukan.
Tujuan utama konseling behavioral adalah menghilangkan tingkah laku
yang salah (maladaptive) dan
menggantikannya dengan tingkah laku baru yang lebih sesuai. Secara rinci tujuan
tersebut adalah untuk
a.
menghapus pola-pola perilaku maladaptive dan membantu anak mempelajari
pola-pola tingkah laku yang lebih konstruktif,
b.
mengubah tingkah laku maladaptif anak,
c.
menciptakan kondisi-kondisi yang baru
yang memungkinkan terjadinya proses belajar ulang.
Konseling behavioral
pada dasarnya merupakan proses penghapusan hasil belajar yang salah dengan
memberikan pengalaman-pengalaman belajar baru yang didalamnya mengandung
respon-respon yang layak yang belum dipelajari. Menurut Corey (1986) terdapat
tiga fungsi tujuan dari konseling behavioral, yaitu sebagai : (1) refleksi
masalah klien sekaligus arah konseling, (2) dasar pemilihan dan penggunaan strategi
konseling, dan (3) landasan untuk menilai hasil konseling.
Krumboltz (Surya, 2003)
mengemukakan bahwa terdapat empat metode dalam konseling behavioral, yaitu :
1.
Operant
learning
Penguatan dapat menghasilkan perilaku yang
diharapkan, serta pemanfaatan situasi diluar klien dapat memperkuat perilaku
klien yang dikehendaki. Penguatan hendaknya sesuai kebutuhan anak dan diberikan
sistematis dan untuk itu konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana
penguatan itu diberikan dan merancang perilaku yang memerlukan penguatan.
2.
Unitative
learning atau social
modelling
Konselor merancang perilaku adaptif yang dapat
dijadikan model bagi klien, baik dalam bentuk rekaman, pengajaran berprogram, video,
film, biografi atau orang. Model yang dipilih hendaknya subjek yang
berprestise, kompeten, aktraktif (menarik), dan berpengaruh.
3.
Cognitive
learning
Menekankan pentingnya aspek perubahan kognitif klien.
Dalam pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan
klien, dan bermain peran.
4.
Emotional
learning
Metode ini diterapkan untuk individu yang mengalami kecemasan,
melalui penciptaan situasi rileks dengan menghadirkan rangsang yang menimbulkan
kecemasan bersama dengan suatu rangsang yang menimbulkan kesenangan, sehingga
secara berangsur kecemasan berkurang dan akhirnya dapat dihilangkan.
Sedangkan teknik yang
biasa digunakan dalam keempat pendekatan atau metode di atas antara lain :
1.
Desentisisasi sistematis, yaitu suatu
cara yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperbuat secara negatif
dengan menyertakan pemunculan tingkah laku yang berlawanan dengan tingkah laku
yang hendak dihapuskan. Salah satu caranya adalah dengan melatih anak untuk
santai dan mengasosiasikan keadaan santai dengan pengalaman-pengalaman pembangkit
kecemasan.
2.
Latihan asertif, yaitu latihan
mempertahankan diri akibat perlakuan orang lain yang menimbulkan kecemasan,
dengan cara mempertahankan hak dan harga dirinya. Latihan ini tepat untuk
anak-anak yang mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam
menyatakannya. Misalnya, bagi mereka yang sulit untuk berkata ”tidak”, tidak
dapat menyatakan kemarahannya, atau merasa tidak punya hak untuk menyatakan pikiran
dan perasaannya. Dalam pelaksanaan teknik ini, penting bagi konselor untuk
melatih keberanian anak untuk berkata atau menyatakan pikiran dan perasaan yang
sesungguhnya secara tegas. Caranya dapat melalui bermain peran. Misal, anak diminta
untuk berperan sebagai orang tua yang galak dan konselor sebagai anak yang
pendiam. Kemudian peran tersebut dipertukarkan.
3.
Terapi aversi, digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buruk atau menghukum perilaku yang negatif dan
memperkuat perilaku positif, dengan meningkatkan kepekaan klien agar mengganti
respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut,
dibarengi dengan stimulus yang merugikan dirinya. Misalnya, anak yang suka
mabuk, maka minumannya dicampur dengan obat tertentu yang dapat menjadikan
pusing atau muntah.
4.
Penghentian pikiran. Teknik ini efektif
digunakan untuk klien yang sangat cemas. Caranya, misal klien ditutup matanya sambil
membayangkan dan mengatakan sesuatu yang mengganggu dirinya, misal berkata
“saya jahat” – pada saat itu klien memberi tanda, kemudian terapi berteriak
atau berkata keras dan nyaring berkata “berhenti”. Jadi pikiran yang tadi digantikan
dengan teriakan terapi, berulang-ulang sampai dirinya sendiri yang bisa
menghentikan.
5.
Kontrol diri, dilakukan untuk
meningkatkan perhatian pada anak tugas-tugas tertentu, melalui prosedur self
assessment, mencatat diri sendiri, menentukan tindakan diri sendiri, dan
menyusun dorongan diri sendiri.
6.
Pekerjaan rumah. Yaitu dengan memberikan
tugas atau pekerjaan rumah kepada klien yang kurang mampu menyesuaikan diri
dengan situasi tertentu. Misal, kepada klien yang suka melawan ketika dimarahi
orang tua, maka diberi tugas selama satu minggu untuk tidak menjawab ketika
sedang dimarahi, kemudian hasilnya dievaluasi dan secara berangsur
ditingkatkan.
Kelebihan :
§ Memiliki
dasar teori yang cukup kuat
§ Mampu
membuat klien lebih mengerti perilaku yang sesuai dengan harapannya
Kekurangan :
§ Administrasi
cukup panjang
§ Menggunakan
waktu yang cukup lama dalam proses terapi
§ Menghabiskan
biaya klien yang cukup banyak guna menuntaskan terapi
Sumber:
Kuntjojo,
Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling
Permanarian,S.,
dan Assjari, M. (2008). Teori Konseling.
Bandung: PLB FIP UPI.
http://www.scribd.com/doc/117548663/12/Tujuan-behavior-therapy